Rudy Sutadi - Bapak ABA Indonesia
Autisme ? Siapa Takuuut...?!
Autism Is Cureable ! Autism Is Treatable ! Autisme Bisa Sembuh !
Ayo Verbal...! Ayo Sekolah Reguler...!
Rudy Sutadi, seorang dokter spesialis anak, mempelajari autisme dan penanganannya awalnya untuk kebutuhan sendiri yaitu untuk menterapi putra pertamanya.
Setelah anaknya mengalami kemajuan, maka banyak orangtua, terapis, dokter, dan profesional lainnya yang ingin mengetahui penanganan autisme yang benar. Sehingga kemudian dokter Rudy memberikan berbagai pelatihan/ workshop, seminar dan simposium di berbagai universitas/ fakultas serta perkumpulan-perkumpulan/ kelompok-kelompok/ yayasan-yayasan autisme di seluruh Indonesia.
Awalnya dokter Rudy Sutadi memeriksakan anaknya yang walaupun sudah berusia 2 tahun 5 bulan namun belum bisa bicara, ke senior dan gurunya yaitu dr. Hardiono D. Poesponegoro, SpAK, pada akhir Desember 1996 di tempat praktek pribadinya di kawasan Kelapa Gading.
Oleh dokter Hardiono, kemudian dirujuk ke dr. Melly Budhiman, SpKJ, yang berpraktek di RS MMC, dengan surat keterangan "kemungkinan retardasi mental, mudah-mudahan bukan autisme". Yang kemudian dijawab oleh dokter Melly pada awal Januari 1997 dengan surat keterangan bahwa anak tersebut adalah "PDD Autisme".
Itulah awal yang kemudian merubah jalan hidup dokter Rudy yang sebelumnya sehari-harinya mengelola sebuah rumah sakit kecil di Jakarta dan beberapa puluh Klinik Dokter 24 Jam di Jakarta, Bogor, dan Sukabumi.
"Wah, saya waktu itu tidak tahu apa-apa tentang autisme, apalagi penanganannya", begitu dokter Rudy memulai kisahnya.
Menurut dokter Rudy Sutadi, dulu saat beliau menjalani pendidikan dokter di FKUI, maupun saat menjalani pendidikan spesialis anak di Bagian IKA (Ilmu Kesehatan Anak) FKUI/RSCM (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo) di Jakarta, sama sekali tidak pernah diajarkan tentang autisme apalagi penanganannya.
Dulu saat menjalani pendidikan spesialis anak tersebut, ketika masih yunior mendapat giliran tugas di Poliklinik Umum Anak (IKA FKUI/RSCM) tersebut, jika ada pasien anak-anak yang terlambat bicara, ketika ditanyakan ke seniornya, dikatakan supaya dirujuk ke Poliklinik Nerologi Anak (IKA FKUI/RSCM) saja.
Dan setelah tahun berlalu, saat beliau bergiliran tugas di Poliklinik Nerologi Anak, ketika mendapat rujukan dari Poliklinik Umum Anak, oleh senior dan gurunya, dianjurkan untuk dirujuk ke Sub Bagian Psikiatri Anak, Bagian Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM.
Sempat terlintas dalam pikiran dokter Rudy, "kenapa ya dirujuknya ke Bagian Jiwa…?" Namun segera saja hal itu terlupakannya oleh karena banyak kesibukan saat menjalani pendidikan tersebut, termasuk juga beliau tidak ingat untuk menanyakan hal tersebut pada tahun berikutnya ketika bergiliran stase selama 1,5 bulan di Bagian Kedokteran Jiwa.
"Lebih tepatnya 'sih' seharusnya anak-anak autistik ditangani oleh Dokter Spesialis Anak, bukan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Psikiater), karena ini 'kan' termasuk masalah perkembangan anak, kelompok diagnosisnya saja -Pervasive Development Disorder- yaitu Gangguan Perkembangan Luas", begitu dokter Rudy menandaskan.
Lalu, kenapa Dokter Jiwa (Psikiater) menangani autisme? "'Weleh', itu karena salah kaprah dulunya. Dulu autisme ini disangka sakit gila yang terjadi pada anak-anak, sehingga ditangani oleh Dokter Jiwa (Psikiater). Sehingga pada DSM-1 (tahun 1952) autisme didiagnosis sebagai “Schizophrenic Reaction, Childhood Type”, dan pada DSM-2 (tahun 1968) autisme dimasukkan dalam kategori “Schizophrenia, Childhood Type”, kemudian pada DSM-3 (tahun 1980) disebut sebagai “Infantile Autism”. Barulah pada tahun 1980-an hal ini dikoreksi, sehingga pada DSM-3R (revision, tahun 1987) dan seterusnya (DSM-4 tahun 1994, DSM-4R tahun 2000), autisme dikategorikan sendiri, yaitu sebagai “Autistic Disorder”, demikian tambah dokter Rudy.
Pada awal tahun 1997 itu di Indonesia sangat sedikit sekali dokter/orang yang mengetahui apalagi faham tentang autisme, terlebih lagi penanganan yang benar. Paling maksimal disebutkan "Pendidikan Khusus" untuk penanganannya, namun tidak dapat menerangkan pendidikan khusus yang bagaimana ketika ditanyakan lebih lanjut.
Tanpa membuang waktu, dokter Rudy saat itu segera memasukkan anaknya di sebuah tempat terapi yang dianjurkan. Namun dokter Rudy Sutadi tidak puas melihat penanganannya, "doesn't make sense" ujarnya.
Kemudian dimulailah perburuan dokter Rudy ke satu tempat-terapi dan ke tempat-terapi yang lain, namun paling bertahan hanya beberapa hari sampai 1-2 minggu.
"Tempat-tempat terapi yang ada di Jakarta saat itu tidak khusus menangani autisme, sehingga metode yang digunakan tidak khusus untuk anak-anak autistik. Tempat-tempat terapi yang ada itu sebenarnya tadinya menangani anak-anak retardasi mental, speech-delay, Down's syndrome, cerebral palsy, dlsb, namun kemudian mereka menerima juga anak-anak autistik. Sehingga kemampuan/keilmuan/metode yang mereka gunakan untuk anak-anak non-autistik, kemudian mereka terapkan begitu saja kepada anak-anak autistik".
"Jelas tidak sesuai" begitu tukas dokter Rudy Sutadi.
Begitu juga dengan penanganan medis, saat itu anak-anak autistik ditangani oleh Dokter Ahli Jiwa (Psikiater), yang hanya memberikan obat-obat psikotropik saja.
"Padahal untuk autisme, obat-obat psikotropik sebenarnya merupakan pilihan terakhir, yaitu jika dengan moda terapi yang lain, yaitu ABA (Applied Behavior Analysis) dan BIT (Biomedical Intervention Therapy) tidak bisa atau sulit teratasi, sehingga diperlukan tambahan (bukan utama) bantuan obat psikotropik, yang hanya sekedar membantu saja dan bukan direncanakan untuk diberikan terus-menerus apalagi sampai bertahun-tahun", begitu yang diterangkan oleh dokter Rudy Sutadi.
Mulailah dokter Rudy secara marathon membaca berbagai materi yang telah dicetaknya itu, "seluruh waktu yang ada saya gunakan untuk baca, baca, dan baca, hanya dipotong makan serta sholat, dan juga tertidur jika sudah kelelahan, bukannya tidur lho..." ujarnya sambil tergelak.
Sampai akhirnya dokter Rudy membaca tentang ABA (Applied Behavior Analysis), "wah saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap ABA", selorohnya.
Kenapa begitu? "Iya, karena ABA untuk autisme ini dasarnya telah dikembangkan sejak hampir 1 abad waktu itu (saat ini sudah lebih dari 1 abad – red.), kemudian kelebihannya antara lain metodenya yang sistematik, terstruktur, dan terukur, di samping telah terbukti pada banyak sekali penelitian bahwa ternyata efektif dan efisien".
"Maksudnya sistematik yaitu adanya rangkaian yang jelas dalam kurikulum/program/ aktivitas, sehingga tahapannya berkesinambungan dari satu program/aktivitas ke program/aktivitas selanjutnya, setelah satu program/aktivitas, what-next, apalagi kelanjutannya", begitu penjelasan dokter Rudy yang sangat terkenal dan sangat piawai serta sangat bersemangat dalam menerangkan serta menjelaskan berbagai seluk-beluk ABA. Sehingga tidak heran kalau banyak orang di Indonesia yang menyebutkannya sebagai ABA-nya dokter Rudy, bahkan beliau juga dinyatakan sebagai BAPAK ABA Indonesia.
"Maksudnya terstruktur adalah adanya tehnik yang telah sangat jelas dalam menjalankan teaching-session, seperti misalnya DTT, DT, EO/TP, dlsb, yang telah dikembangkan oleh para ahli serta praktisi, sehingga saat ini bisa dikatakan almost perfect".
"Maksudnya terukur yaitu adanya lembar penilaian pada semua program/aktivitas dalam teaching session, sehingga kita bisa dengan secara yakin mengatakan bahwa anak sudah ataukah belum bisa/menguasai/mampu dalam suatu/berbagai hal".
Setelah itu dokter Rudy banyak membeli berbagai buku tentang ABA melalui amazon.com serta mengikuti berbagai workshop, seminar/simposium, short-course, summer-course, dlsb, di Amerika dan Australia.
"Alhamdulillah saat itu belum krismon (krisis moneter tahun 1998 – red.), sehingga terasa cukup ringan untuk memborong berbagai buku dan teaching-material dari internet maupun pada berbagai acara di Amerika dan Australia)", begitu dokter Rudy mensyukuri.
Namun pembelajaran dokter Rudy tetap berlanjut, "tiga sampai empat kali dalam setahun saya ke Amerika untuk mengikuti berbagai workshop, seminar, simposium, short-course, summer-course, dlsb, tentang autisme serta penanganannya, khususnya ABA dan BIT. Oleh karena pada berbagai workshop maupun course, tidak pernah diberikan penerangan ABA secara menyeluruh dari A sampai Z, selalu hanya mosaik-mosaiknya saja. Setelah saya ikut banyak workshop dan course, serta membaca banyak buku, barulah saya bisa menyatukan kepingan-kepingan itu sehingga mendapat gambaran yang jelas serta menyeluruh. Jadi, jangan harap dengan hanya mengikuti 1-2 kali kegiatan di luar negeri saja akan bisa mengetahui, faham, dan menguasai ABA untuk autisme secara keseluruhan".
Namun perjuangan dokter Rudy tidak mudah begitu saja dalam penyembuhan anaknya. Ketika mulai mempelajari ABA pada awal tahun 1997 itu, tidak ada profesional yang bisa membantu, bahkan ada seorang speech-therapist lulusan Filipina yang saat itu diharapkan untuk membantu (oleh karena buku-buku yang dibeli dalam bahasa Inggris, sehingga diharapkan beliau itu tidak kesulitan dalam membaca dan mempelajarinya), namun komentarnya "saya tidak menangani pre-speech therapy, karena anaknya masih belum bisa duduk tenang dan tidak ada kontak mata".
Mulailah kemudian dokter Rudy berjibaku menanangani sendiri anaknya dengan dibantu oleh baby-sitter. Dan bukan hal yang mudah sebagai seorang ayah untuk menterapi anak autistiknya, oleh karena jika anaknya menangis, teaching-session harus tetap diteruskan agar supaya anak tidak mendapat ide (tidak belajar) bahwa "teaching-session akan berhenti jika saya menangis", tetapi anak akan mendapat selingan-selingan istirahat-istirahat pendek/singkat jika melakukan instruksi-instruksi (baik dengan prompt ataupun tanpa prompt).
"Jika anak saya menangis dalam teaching-session, sebagai seorang ayah, inginnya saya menggendongnya, mengusap-usapnya, menghiburnya, namun itu tidak boleh saya lakukan kecuali saat break-break (baca: brik-brik, istirahat pendek/singkat seperti diterangkan sebelumnya – red.)", kemudian lanjutnya "hancur dan remuk-redamlah hati saya saat itu, namun saya harus kuatkan dan tetap berkeras hati demi kepentingan dan kemajuan anak saya itu", begitu kenangnya, "dan hal itu rupanya menggores sangat dalam di hati saya, hingga sekarang masih kuat dalam ingatan tentang ekspresi tangis anak saya itu serta kesedihan saya, bahkan sampai sekarangpun masih sangat terasa sakit dan sedihnya jika teringat kembali".
ABA sendiri dasar-dasarnya telah dikembangkan lebih dari satu abad yang lalu, kemudian pada tahun 1962 Prof. Lovaas dengan UCLA Project nya menerapkan ABA untuk autisme, dan hasilnya dipublikasikan pada tahun 1997. Sehingga ABA untuk autisme dikenal juga sebagai Metode Lovaas. Namun barulah pada tahun 1995 ABA untuk autisme terkenal ke seluruh dunia, yaitu setelah Catherine Maurice menerbitkan bukunya yang berjudul "Let Me Hear Your Voice". Dalam buku tersebut, Catherine Maurice (nama samaran) menceriterakan anak pertamanya yang autistik, kemudian berhasil sembuh setelah ditangani oleh team Prof. Lovaas tersebut. Bahkan anak keduanya yang kemudian juga autistik, juga sembuh setelah diterapi dengan ABA ini.
Di Indonesia, ABA mulai disebarluaskan dan dipopulerkan oleh dokter Rudy Sutadi, yang awalnya melalui YAI (Yayasan Autisme Indonesia) yang didirikan oleh dokter Melly serta beliau dan bersama dengan beberapa dokter serta beberapa orangtua dari anak-anak penyandang autisme.
Seminar pertama tentang autisme dan penanganannya diadakan pada Agustus 1997, dan pelatihan ABA pertama-tama dilangsungkan dua minggu kemudian dan pada Desember 1997. Sejak itulah dokter Rudy aktif memberikan berbagai seminar, simposium, dan pelatihan tentang ABA ini ke berbagai kota di seluruh Indonesia, yaitu ke berbagai universitas/fakultas serta berbagai kelompok-masyarakat (perkumpulan, yayasan, tempat terapi, dlsb).
Oleh karena itu, tidaklah heran bahwa ABA untuk autisme di Indonesia oleh beberapa orang dikatakan sebagai ABAnya dokter Rudy, bahkan beliau dinyatakan sebagai BAPAK ABA Indonesia. Beliau juga pernah dipercaya sebagai Dosen Luar Biasa di UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dengan mengampu mata kuliah Pendidikan Luar Biasa.
Oleh karena itu, kepakaran dan keahlian dokter Rudy tidak diragukan lagi. Memang sampai sekarang tidak ada pendidikan keahlian khusus autisme di Indonesia maupun di luar negeri yang memberikan gelar ahli autisme; Sebagaimana juga tidak ada pendidikan keahlian khusus tifus, sindrom Down, cerebral palsy, dlsb, yang memberikan gelar ahli tifus, ahli sindrom Down, ahli cerebral palsy, dlsb.
Namun kepakaran/keahlian dokter Rudy sudah diakui oleh masyarakat luas, selain itu juga seperti yang dikemukakan oleh Prof. DR. dr. H. Sofyan Ismael, SpAK, dalam rapat di Dirjen Yanmed Depkes RI (Direktorat Jenderal Pelayanan Medis, Departemen Kesehatan RI) pada tahun 2003, bahwa "seseorang dokter dikatakan ahli dalam suatu bidang jika, pertama, yang bersangkutan mempunyai ilmu di dalam bidang itu, kedua, yang bersangkutan sehari-hari berkecimpung dalam bidang itu, ketiga, ada pengakuan dari sejawatnya".
Kemudian lanjut Prof. Sofyan, "nah, seperti misalnya saya, kalau ada pasien autisme, ya saya langsung rujuk saja ke dokter Rudy, itu merupakan bentuk pengakuan dari sejawat, karena saya sendiri tidak mendalami autisme".
Kiprah dokter Rudy Sutadi paling menonjol adalah dibukanya Klinik Konsultasi dan Terapi untuk autisme di Jakarta Selatan, dan KID-Autis (Klinik Intervensi Dini Autisme) di Jakarta Timur (Sekarang menjadi KID ABA - Klinik Intervensi Dini Applied Behavior Analysis, di Grand Wisata, Bekasi). Di klinik ini, masyarakat dapat berkonsultasi dan melakukan terapi autis.
Tujuan utamanya adalah untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa ABA yang disebarluaskan dan dipopulerkannya bukan sekedar ilmu di atas kertas saja, tetapi memang benar bisa diterapkan dan terbukti kebenarannya. Di samping tentunya untuk secara langsung menangani anak-anak autistik serta sebagai sarana pendidikan dan pelatihan bagi terapis-terapis untuk menangani anak-anak lainnya yang tidak mungkin tertangani seluruhnya oleh KID Autis (sekarang KID ABA)
Di lingkup nasional dokter Rudy dipercaya menjadi ketua Kongres/Konferensi Nasional Autisme Indonesia (KNAI) yang digelar pertama kali di Jakarta, pada awal Mei 2003 lalu. KNAI diselenggarakan oleh Perhimpunan Autisme Indonesia, bertujuan menggugah kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penanganan dini autisme.
Tak hanya di dalam negeri, sepak terjang suami Lisa R Sutadi ini juga diakui di lingkup internasional. Dokter yang mempunyai dua putra ini, memang gencar melakukan kampanye deteksi dini dan intervensi dini terhadap autisme. Beliau aktif di DAN! (Defeat Autism Now!) yang melakukan publikasi tentang autis di media-media lokal dan internasional.
Hanya ada empat dokter ahli dari Indonesia yang bergabung bersama DAN!, yakni Melly Budhiman, M.D; Kurniati Ihromi Tanjung, MD dan Sasanti Yuniar, MD, serta dokter Rudy ini. Sedangkan yang kemudian ikut dalam DAN! Think-Thank adalah dokter Rudy Sutadi ini serta dokter Nia Ihromi Tanjung, dan dokter Rina Adelaine.
DAN adalah organisasi yang dibentuk tahun 1995, yang terdiri dari peneliti dan ilmuwan dari berbagai Negara. Aktif berkampanye pencegahan dan terapi autis anak. Organisasi ini berada di bawah lembaga ARI (Autism Research Institute) yang bermarkas di San Diego, Amerika.
Tentang orang-orangtua maupun anak-anak autistik mereka yang telah sembuh namun tidak mau mengakui dan/atau menyembunyikan bahwa mereka/anak-mereka adalah mantan-autistik, pendapat dokter Rudy Sutadi adalah "Biarkan mereka memilih, apakah ingin tampil sebagai mantan-autistik ataukah bukan, kita harus menghormati keinginan mereka, apapun alasannya. Namun sebenarnya jika mereka tampil sebagai mantan-autistik, hal itu dapat memberi semangat kepada banyak orangtua untuk serius dan tetap serius menangani anak-anak autistik mereka, dan memberi harapan nyata kepada mereka, bukannya suatu harapan palsu, yaitu bahwa autisme ini bisa sembuh".
Tentang sekolah khusus autisme, dokter Rudy sangat tidak setuju dan sangat menentangnya. "Anak autistik harus disekolahkannya di sekolah reguler, agar supaya mereka mencontoh dan belajar dari lingkungannya tentang berbagai hal dari anak-anak lain yang tanpa gangguan/masalah, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lain seumumnya. Karena jika seorang anak autistik digabungkan bersama anak-anak autistik lain ataupun anak-anak yang mempunyai gangguan/masalah lain, maka dia akan mencontoh perilaku yang tidak sesuai yang bukan standar yang benar di masyarakat umum".
"Namun," lanjut dokter Rudy, "memang kita tidak memasukkan anak autistik begitu saja ke sekolah reguler, mereka terlebih dahulu harus ditangani secara dini, intensif, dan optimal, dengan ABA dan BIT. Setelah memenuhi kriteria school-readiness, barulah mereka mulai disekolahkan, dilakukan transisi dari yang tadinya teaching-room secara one-on-one, ke lingkungan sekolah yang one-to-many, many-to-one, dan many-to-many. Tetapi dengan didampingi oleh shadow yang bertugas antara lain menjembatani anak dengan lingkungannya, serta mencatat berbagai masalah yang ada untuk kemudian diajarkan/dilatih di teaching-room yang jika perlu dengan simulasi dan replikasi, untuk kemudian digeneralisasi di lingkungan sekolah".
Pesan dokter Rudy dalam mengakhir penuturannya, yaitu bahwa dulu autisme dikatakan sebagai suatu kondisi yang tidak punya harapan dan tidak bisa sembuh, namun dengan berbagai kemajuan dalam terapinya terutama ABA dan BIT (Applied Behavior Analysis dan Biomedical Intervention Therapy), ternyatalah bahwa autisme ini bisa disembuhkan. Sehingga saat ini mungkin kita sudah bisa mengatakan "Autisme? Siapa takuuut…??? Autism is curable! Autism is treatable! Autisme bisa sembuh!!!"
"Ayo verbal…! ayo sekolah reguler…!"
Jakarta/Bekasi, Juni 2012 (edisi Revisi)
(revisi minor 03 Maret 2024)
Sumber: Diambil dari berbagai sumber
Contact Person Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI:
Liza / Arneliza Anwar
KID-ABA Autism Center
(Klinik Intervensi Dini Applied Behavior Analysis)
Grand Wisata Blok AA 11 No.56-57-58, Tambun, Bekasi 17510
Jawa Barat, Indonesia
Telpon/WA Admin: +62 812-8905-6000
liza_rudy[et]yahoo.com
(mohon [et] diganti dengan @ untuk menghindari spam)